Makalah Fiqih Muammalah "RIBA"




- Makalah  RIBA-



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Riba
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian (الزادة و ) , karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang di hutangkan. Berkembang, berbu النام )  (  , karena slah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnyayang dipinjamkan kepada orang lain.[1]    secara linguistik, riba mempunyai arti tumbuh dan membesar. Adapun secara terminologi, terdapat beberapa definisi riba dari para ulama.
a.       Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi mendefinisikan iba sebagai tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (padanan) yang dibenarkan oleh syariat atas penambahan tersebut .
b.      Imam Nawawi mendefinisikan riba sebagai penambahan atas harta poko karena adanya unsur waktu.
dari penjelasan tersebut sangat jelas bahwa salah satu bentuk riba yang disinyalir para ulama adalah tambahan atau modal pokok (kapital).[2]

Riba menurut istilah ahli fiqih adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap riba, karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada riba di dalamnya hanya saja tambahan yang di istilahkan degan nama  “riba” dan Al-qur’an datang menerangkan pengharamannya tambahan yang diambil sebagai ganti  dari tempo.[3]
 Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan riba menurut Al-Mali ialah :

عقد واقع على عوض مخصو ص غير معلوم اتما ثل فى معيار الشرع حالةالعقد أو مع تأخير فى البد لين
او حدهما

“Akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui penimbangannya menurut ukuran syara’. ketika berakad atau dengan mengakhiri tukaran kedua belah pihak atau salah satu dari keduanya.” [4]
menurut sebagian ulama, riba dibagi dibagi empat macam, yaitu fadli , qardhi, yad, dan nasa’. sedangkan menurut sebagian ulama lainnya, riba dibagi tiga bagian, yaitu fadli, nasa, dan yad. adapun riba qadhi dikategorikan  pada riba nasa’.
Menurut para ulama, seperti dikemukakan oleh Supiana dan M. Karman,  riba itu ada empat macam, yaitu sebagai berikut.
1.      Riba fadhli, yaitu tukar menukar barang sejenis yang barangnya sama, tetapi jumlahnya berbeda,misalnya menukar 10 kg beras dengan 11 kg beras. Barang yang sejenis, misalnya beras dengan beras, uang dengan uang, emas dengan emas.

2.      Riba qardhi, yaitu utang-piutang dengan menarik keuntungan bagi piutangnya, misalnya, seorang berutang Rp. 25.000,- dengan perjanjian akan dibayar Rp. 26.000,-; atau seorang atau seperti rentenir yang meminjamkan uangnya dengan pengemblian 30% perbulan.

3.      Riba yadh, yaitu jual beli yang dilakukan seseorang sebelum menerima barang yang dibelinya dari si penjual dan tidak boleh menjualnya lagi kepada siapa pun, sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih dalam ikatan jual beli yang pertama.


4.      Riba nasa’i, yaitu melebihkan pembayaran barang yang diperjualbelikan atau diutangkan karena dilambatkan waktu pembayarannya. Misalnya, menjual emas seharga Rp. 200.000,- jika dijual tunai, dan menjual seharga Rp. 300.000, - jika diangsur (kredit).[5]

A.    Dasar Hukum Riba
Firman Allah swt. dan Rasul-Nya dalam melarang dan mengharamkan Riba

  وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَو اْ

Allah menghalalkan jual beli  dan mengharamkan Riba”. (Q.S. Al-Nisa : 275)

يَأَ يُّهَا الَّذِيْنَ ءَا مَنُو اْ ا تَّقُو ا اللهَ وَذَرٌوا مَا بَقِىَ مِنَ الرِّبوإِ ن كُنْتُم مُؤْمِنِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”
 (Q.S. Al-Baqarah : 278)[6]


Ibnu Mas’ud ra. menerangkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَّلمَ لعن اَكِلَ الرِّبَا ، وَمُوَكِّلَهُ وَشَا هِدَيْهِ ، وَكَا تِبَهُ

“Nabi saw. mengutuk orang yang  memakan riba,  orang yang memberi kesempatan kepada kita untuk memakan riba atau untuk menjalankan riba, saksi-saksi dalam perbuatan riba, dan menulis surat riba”. (H.R. Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’y, At-Turmudzy, dan Ibnu Majah ; Al-Muntaqa 2: 337)

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim dan di-shahih kannya. Muslim meriwayatkan hadits ini dari Jabir. Hadits ini menyatakan pemakan riba, orang yang menyebabkan orang lain memakan riba, para saksi  dan penulis surat riba, adalah orang-orang yang dikutuk Allah swt. Hadits ini juga menyatakan, menulis surat akad riba, hukumnya haram, jika si penulis itu mengetahui, bahwa surat itu surat riba.


Adullah ibn Hanzhalah ra. menerangkan :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلّم دِ رْهَم رِبًا يَأْ كُلٌهُ الرَّجُلُ، وَهُوَيَعْلَمُ ، أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلَا ثِيْنَ ز نينة

“Rasulullah saw. bersabda : sedirham riba yang dimakan oleh seseorang padahal dia mengetahuinya, lebih berat azabnya daripada tiga puluh enam kali zina”.
(H.R. Ahmad, Al-Muntaqa 2: 337)

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Ath-Thabarany dalam Al-Aushat. Diterangkan oleh  Majma’uz Zawaid, bahwa perawi-perawinya kepercayaan. Hadits ini menyatakan, sekali mengerjakan riba lebih besar dosanya daripada tiga uluh enam dari berzina.
Para ulama menetapkan, haram  menjadi penulis  surat riba (notaris) dan bertindak sebagai saksi, adalah jika penulis dan saksi itu mengetahui, bahwa yang dilakukan itu, surat riba. Jika tidak diketahui tidak haram.[7]




B.     Riba dengan Bunga Bank
Al-Qur’an telah mengharamkan riba dalam empat ayat yang berbeda , pada tahap pertama, Al-Qur’an menolak anggapan bahwa riba yang pada dahirnya seoalah-olah menolong mereka yang memerlukan, sebagai suatu perbuatan untuk mendekatkan diri atau bertaqarrub kepada Allah.
 Allah swt, berfirman :

“Dan, sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah  harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan, apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka ( yang berbuat demikian) itulah orang-oang yang melipat gandakan (pahalanya)”
(ar-Ruum: 39)

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah mengancam akan memberikan balasan yang keras kepada orang yahudi  yang memakan riba. Allah swt berfirman :
“Maka, disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, kami haramkan atas (mereka memakan makanan) yang baik-baik ( yang dahulunya ) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal mereka sesungguhnya telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih” (an-nisaa’ :160-161).

Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikan pada masa tersebut. Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan  bertakwalah kamu kepada Allah  supaya kamu mendapat keberuntungan”
(ali-Imran: 130)

Tahap terakhir, Allah dengan jelas dengan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yag diambil dari pinjaman. Allah SWT. berfirman:

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba ( yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka,  jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”
(al-Baqarah : 278-279).

Ayat  ini diturunkan menjelang wafatnya  Rasulullah saw dan sekaligus sebagai ayat pemungkas yang diturunkan terkait dengan riba.[8]
Berdasarkan penjelasan ayat ini, jelaslah bahwa Allah dan Rasul-Nya memberikan kecaman keras bagi orang-orang yang mengambil riba. Allah daan Rasul-Nya mengumandangkan perang bagi para pelaku riba. Selain itu, ayyat selanjutnya juga meberikan pemahaman bahwa Al-Qur’an telah memberikan perbedaan antara konsep perniagaan  (jual beli) dengan riba, dan melarang  bagi kaum beriman untuk mengambil sisa-sisa riba, serta memberikan perintah kepada  mereka  untuk hanya mengambil pokok  hartanya yang dipinjamkan  tanpa adanya tambahan.[9]
Secara literal , riba bermakna naik, bertambah , tumbuh  atau berkembang akan tetapi  tidak semua bentuk tambahan atas modal pokok yang ditransaksikan itu dilarang  dalam Islam . profit yang didapatkan dalam satu usaha juga berpotensi untuk menambah niai modal  pokok yang di investasikan, namun profit tersebut tidak dilarang dalam Islam.[10]
Dalam perekonomian Islam modern, pada dasarnya bank adalah lembaga perantara dan penyalur  dana antara pihak investor dan pengusaha. Peran ini disebut  financial intermediary. Dalam melaksanakan tugasnya, bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat, pemilik dana ketika ia menerima simpanan dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan dana ketika memberikan pinjaman dan dalam kegiatan ini muncullah bunga.[11]
Di kalangan organisasi Islam Indonesia terdapat perbedaan  tentang bunga bank. Majlis Tarjih Muhammadiyah misalnya, berpendapat bahwa illat keharaman riba adalah kedhaliman maka bunga bank bersifat mutasyabihat. apabila bank nya adalah bank swasta, terhadap sesuatu yang mutasyabihat , syar’  memerintahkan untuk menghindarinya. adapun bunga bank yang terdapat pada bank-bank pemerintah hukumnya boleh dan tidak termasuk riba.
      Nahdatul Ulama menetapkan bahwa bunga bank mempunyai  tiga hukum yaitu :
1.      haram, sebab termasuk utang yang diambil dari bunga
2.      halal, sebab tidak ada syarat  pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak begitu saja dijadikan syarat
3.      syubhat, sebab para ahli hukum masih beberapa pendapat  tentang hukumnya
Dari beberapa pendapat para ulama, tampak belum ada kesatuan pendapat tentang hukum riba dan hal ini tetap berkembang sbagai wacana akademis. Sekalipun demikian, kalangan ahli perbankan modern saat ini mulai melirik sistem bagi hasil sebagai pengganti dari sistem pembungaan yang mulai ditinggalkan. inilah hikmah terbaik yang dapaat dipetik dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia beberapa tahun terakhir.[12]








[1] Hendi  Suhendi, Fiqh Muamalah, (jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm, 57
[2] Si’ah khosi’ah, Fiqih Mu’amalah perbandingan, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2014) hlm, 169
[3] Abdul Aziz, Fiqih Muamalat, (Jakarta, AMZAH, 2010), hlm, 217
[4] Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah,(Bogor, Ghalia Indonesia, 2011), hlm, 56

[5] ibid, hlm. 59
[6] ibid, hlm. 57
[7] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum Jilid 3, (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra,2011), hlm.295-296
[8] Dimyauddin Djuwaini, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR, 2008), hlm. 189-190
[9] ibid, hlm. 191
[10] ibid, hlm. 192
[11] Siah Khosyi’ah, Op.Cit,hlm. 181
[12] ibid,hlm. 178

Comments

Popular posts from this blog

Qada dan Qadar menurut Qadariyah,Mu'tazilah,Jabariyah dan Ahlussunah wal Jamaah

MAKALAH ISTIMDAD DALAM USHUL FIQIH

Peradaban Dunia Sebelum Islam